Kita dan Dhuafa: Siapa Butuh Siapa?

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"
(QS 9:103).

Zakat sebagai salah satu dari lima rukun Islam adalah sesuatu yang wajib ditunaikan. Ibarat rumah yang terdiri dari 5 tiang penyangga, maka zakat adalah salah satunya.

Dalam rukun Islam, Syahadat dan Shalat adalah yang paling utama dalam arti selama seseorang masih hidup bagaimanapun kondisinya (kecuali tidak sadar, gila dll) ia wajib menunaikannya. Sementara Puasa Ramadhan, Zakat dan Haji memiliki keringanan bagi orang tertentu dengan kriteria tertentu pula.

Di antara ibadah-ibadah tersebut yang paling mengedepankan relasi antar manusia (hablumminannas) adalah Zakat, walaupun Shalat juga lebih utama jika dilakukan dengan berjamaah tetapi masih bisa dijalankan jika tidak ada orang lain.

Dalam kaitannya dengan relasi antar manusia itu Zakat membutuhkan pemberi zakat (Muzakki) dan penerima zakat (Mustahiq). Bagaimana jika salah satu diantaranya tidak ada? Bisakah Rukun Islam yang satu ini dilaksanakan?

Seandainya di dunia ini tak ada lagi muzakki, tak ada zakat yang bisa di salurkan dan tak ada yang wajib membayar zakat karena tidak ada yang mampu dan berkewajiban menunaikannya. Kemiskinan tidak lagi tampak begitu menyengsarakan.

Sebaliknya jika di dunia ini tak ada lagi mustahiq, apa yang akan terjadi? Kita tak bisa lagi menyalurkan zakat kita. Lalu bagaimana kita membersihkan harta kita? Bagaimana menyempurnakan rukun Islam kita?

Bayangkan jika ini benar-benar terjadi?

Gambaran ini menunjukkan bahwa antara Muzakki dan Mustahiq memiliki kedudukan yang sama dalam relasi antar manusia. Mereka adalah dua pihak yang saling membutuhkan. Selama ini kebanyakan dari kita dengan pola pikir materialistik memandang bahwa kaum dhuafa yang merupakan salah satu dari mustahiq adalah pihak yang paling membutuhkan. Sehingga kedudukan Muzakki seolah-olah lebih penting. Pemikiran seperti inilah yang membuat sang Muzakki merasa pantas-pantas saja membuat orang mengantri untuk mendapatkan zakat darinya. Padahal secara non materiil Muzakki juga sangat membutuhkan Kaum Dhuafa.

Rasanya setiap orang ingin sekali memasuki surga tanpa harus mengantri dan berdesak-desakkan, pun seorang Muzakki dengan jumlah zakat yang besar. Lalu mengapa kita biarkan kaum dhuafa mengantri bahkan hingga meregang nyawa untuk membantu kita memperpendek antrian kita di surga?

Sesungguhnya mengertikah kita tentang esensi zakat yang sebenarnya?

Komentar

Postingan Populer