Ayah, Yuk Bikin Hari Ini Lebih Baik dari Kemarin!

Narasumber: Ibu Elly Risman dan seorang dokter (yang pernah mengalami berayah ada berayah tiada).
 Saya rangkum dari program Smart Parenting di Smart FM,  17 Desember 2014.

Banyak sekali ayah dan ibu yang tidak tahu sepanjang dan sejauh apa dampak 'ketidakhadiran' mereka dalam hidup anak-anak mereka dan apa saja akibat yang dirasakan maupun dilakukan anak-anak mereka di kemudian hari.

Kita selalu berbicara tentang orangtua.
Tentang yang menikah lagi,
yang meninggalkan anaknya.
Tapi, mana diantara kita yang bertanya, menyidik, dan mendengarkan rasa anak-anak mereka.

Mari kita dengarkan pengalaman sahabat kita, seorang dokter spesialis. (Nama dan spesialisasi dirahasiakan)
Ini semua terjadi benar-benar karena ijin Allah.
Kita perlu membuat hari esok lebih baik dari hari ini, betapapun beratnya tantangan dan beban yang kita jalani dan kita hadapi sekarang ini.

Kita menyadari bahwa masalah ayah ini genting.
Berkali-kali kita sebutkan karena isu ayah ini sangat strategis di tengah perubahan yang sangat cepat terjadi dan tantangan pengasuhan yang luar biasa.
Tapi, selalu ada cahaya keemasan di bawah awan yang sangat gelap.
Untuk itu, kita harus menyadari dulu apa yang menyebabkan awan kehidupan begitu gelap.

Karena kehadiran ibu dokter ini luar biasa.
Sukses dan populer, punya pasien yang sangat banyak, mengabdi pada masyarakat.
Kita akan belajar dari beliau tentang bagaimana beliau menapaki kerikil hidupnya, bagaimana menghadang badai 'berayah ada berayah tiada'.

Mari berbesar hati mendengarkan cerita Ibu dokter ini, agar kita jangan pernah merasa sendiri.
Tidak ada orang yang tidak diuji Allah.
Mari kita terima apa yang kita hadapi sekarang ini sebagai sebuah realitas kehidupan yang harus dijalani, dinikmati, dan diselesaikan.
Dengan satu catatan, tidak mungkin sesuatu itu terjadi tanpa ijin Allah.
Dan bagi kita yang beriman, tergantung kepada keimanan kita masing-masing, kita harus percaya bahwa di ujung jalan sana, Allah pasti sudah punya rencana yang terbaik untuk kita.

--------------

(Kisah pembicara tamu, seorang dokter spesialis sukses)


Saya (dulu) tinggal hanya dengan ibu dan adik laki-laki saya.
Ayah saya hanya datang setiap bulan untuk memberi uang.
Kadang juga tidak.

Bertahun-tahun saya tidak pernah 'punya' ayah.
Saya tidak tahu bagaimana ada ayah di rumah,
bagaimana suami istri itu setiap hari.
Saya sama sekali tidak tahu.
Ayah saya awalnya berpoligami, tapi tidak adil.
Jadi, ibu saya memilih untuk berpisah.

Ibu saya masih menyimpan celana ayah di dalam lemari.
Sebagai anak perempuan, saya cinta dengan ayah.
Saya butuh sekali ayah di dalam hidup saya.
Saya ingin tahu bagaimana rasanya dibelai ayah, dikasih cerita, disayang karena saya anak perempuan.

Apa yang terjadi adik lelaki saya, nanti saya ceritakan.

Saya ingat, Mama sering sekali buka lemari dan memandangi celana Papa.
Pernahkah Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang memperhatikan perasaan seorang anak yang melihat perkawinan yang hancur.
Selalu yang dinilai bapak/suami atau ibu.
Saya, sebagai anak perempuan, saya cinta dan rindu sekali pada ayah saya.

Mana katanya seorang ayah itu sayang pada anaknya?
Apalagi ketika melihat anak lain yang digendong, diberi senyum sayang, hati saya rasanya seperti teriris-iris.
Saya kangen dan rindu sekali, tapi juga sekaligus benci.

Dan peristiwa yang paling berkesan pada suatu hari dimana saat itu perceraian adalah aib di masyarakat, saya merasa jadi pembicaraan teman-teman."Ih, jangan didekatin. Broken Home", saya merasa begitu.
Kemudian pada suatu hari saat saya smp, saya ingat sekali saat saya pergi jalan kegiatan Pramuka di daerah Pancoran.
Saya memang berusaha aktif berkegiatan agar bisa melupakan.
Saya masih punya harapan.
Alhamdulillah, dengan ijin Allah juga, saya harus memberitahu orang bahwa tanpa ayah pun saya juga bisa berhasil.
Hari itu, saat pramuka, tiba-tiba ayah saya lewat.
Saya kenal mobilnya.
Saat itu ayah saya sudah lama tidak ke rumah, dan di dalam mobil tertawa-tawa dengan seorang perempuan.
Saya berdo'a agar ayah saya tidak turun dari mobil."Jangan, jangan turun. Saya malu sekali. Sakit sekali hati saya ditertawakan oleh teman-teman."
Tapi ternyata, mobil ayah saya menepi dan turun dengan perempuan itu dan tertawa-tawa.
Saya tidak pernah disayang-sayang dan bercanda seperti itu.
Kenapa dengan orang lain seperti itu?
Pernahkah merasakan bagaimana perasaan saya.
Bagaimana malu dan lukanya saya saat itu.
Pernahkah bapak-bapak berpikir seperti itu?
Belum lagi setiap malam ibu saya menangis dalam shalat malamnya.
Saya sering terbangun di tengah malam karena Mama menangis.
Setiap malam.
Saat turun dari mobil itu, ayah saya menemui saya dengan tenang sekali.
Teman-teman saya melihat dengan tatapan aneh dan berbisik-bisik.
Namanya juga anak SMP.
Peristiwa itu meninggalkan trauma yang sangat berat untuk saya.

Adik saya, reaksinya berbeda dengan saya.
Reaksi adik saya adalah marah.
Dia menjadi pecandu narkoba.
Sengaja.
Dan banyak hal yang dia perbuat sampai masuk penjara.
Tapi sekarang setelah dewasa sudah bertaubat dan menjadi seorang ustadz.
Beberapa bulan lalu ia bilang pada saya lewat telepon,"Kakak, saya sudah berusaha untuk memaafkan Papa. Tapi tampaknya sakit hati saya, saya bawa sampai mati. Kakak, kita dulu berdua ya, Kak. Kakak dulu adalah satu-satunya orang yang menerima saya apa adanya. Kakak yang membimbing saya ketika saya jatuh di teras saat saya mabuk. Kakak nggak malu pada tetangga-tetangga yang melihat keluarga kita yang hancur. Kakak yang membawa saya masuk."

Melihat adik saya, saya semakin marah pada Papa.
Tapi saya cinta.
Saya anak perempuan.
Saya butuh sekali.
Apalagi adik saya.

Saya ingin sekali ayah saya menyuruh saya shalat.
Tapi lihat bagaimana kelakuan ayah.

Seperti yang sering saya sering bilang kepada anak-anak saya.
Keadaan yang sama, kita bisa memilih.
Adik saya memilih merusak dirinya sendiri tanpa merubah keadaan.
Tapi saya memilih untuk punya harapan.
Dan itu tidak berpengaruh apa-apa pada Papa saya.

Kami dulu tidak punya prinsip.
Hidup ini harus seperti apa?
Setiap malam kami kesepian yang sangat sepi.
 Tidak tahu harus apa.

Saya punya sahabat masa SMP yang sama-sama keluarganya pecah.
Ketika dewasa saat dia menikah, karena sangat trauma ia menjadi frigid.
Karena frigid bertahun-tahun, suaminya pun berselingkuh dan terkena penyakit kelamin.

Alhamdulillah, seperti yang Bu Elly ajarkan, saya menyelesaikan masalah saya dengan ayah saya.
Tapi teman saya ini tidak sempat.
 Jadi sampai saat ini masalah dia belum beres juga.

Saat saya akan menikah, saya bilang pada calon suami saya, saya dan suami harus berjanji untuk mendidik anak bersama-sama dan juga harus mau membaca buku-buku tentang mendidik anak. Dibaca sebelum punya anak.
Meskipun itu tidak mudah di tengah kesibukan kami.

Dan buat saya yang berat adalah, saya tidak tahu bagaimana kehidupan suami istri itu.
Usaha saya benar-benar berat.
Saya mencari keluarga yang utuh.
Alhamdulillah, suami saya dari keluarga yang utuh dan cukup bahagia. Lengkap.
Jadi saya belajar dari mertua saya.
Saya sempat tinggal di rumah mertua saya,kira-kira setahun setelah menikah.
Saya dekat sekali dengan mertua saya.
Alhamdulillah.

________________


Mengapa peran ayah begitu dibutuhkan dan begitu kuat?

Karena FITRAH.

Ayah dan ibu sama-sama dibutuhkan.
Siapa pun yang pergi, ayah ataupun ibu, anak tidak kalah menderitanya.
Kenapa kita tidak pernah memikirkan perasaan anak?

Jadi, kedepannya, kita ajarkan pada anak laki-laki untuk mendengar dan memahami perasaan.
Jangan melarang anak-anak menangis.
Banyak orangtua melarang anak laki-lakinya menangis,"Jangan menangis karena kamu laki-laki!"
Biarkan saja anak kecil menangis.
Dia perlu mengekspresikan perasaannya.
Lalu kita dengarkan dan kita terima,"Oo..., kamu lagi sedih ya, Nak?"
Dari situ dia belajar untuk mendengar dan menerima perasaan istri dan anaknya nanti.
Itulah dasarnya Leadership dia.
Karena dia akan berhadapan dan mengendalikan perempuan-perempuan dan juga laki-laki.

Mendengarkan dan menerima perasaannya bukan aib.
Itu yang harus kita koreksi dari budaya kita.
Insya Allah, jika adik laki-laki Bu dokter ini didengar perasaannya, mungkin ia tidak terjerumus terlalu jauh menyiksa dirinya.
Karena itu adalah kebutuhan dasar.

Belum lagi dari segi agama.
Sama sekali tak tersentuh.

Ayah itu teladan.

Anak juga tidak punya model di dalam kepalanya bagaimana kehidupan suami istri.
Dalam hal belajar tentang bagaimana kehidupan suami istri saja sudah berat, apalagi belajar mendidik anak.

_______________________

Sesi tanya jawab

-------

# 1

Saya remaja 17 tahun.
Cerita ibu bagus.
Tapi kenapa saya sulit untuk memaafkan ayah saya.
Karena ayah saya meninggalkan ibu dan adik-adik saya begitu saja.
Dan kini setelah mengetahui bahwa ayah saya hidupnya berkecukupan, saya bertambah marah.
Karena saya anak pertama.
Bagaimana cara memulai harapan yang seperti ibu ceritakan?

Jawaban Bu Dokter:

Saya juga sama kok.
Saya juga mengalami perasaan itu.
Saya nangis kalau malam.
Saya marah sekali.
Saya benci, muak.

Atap rumah saya sudah mau rubuh, sementara di rumah anak-anak Papa yang lain rumahnya mewah.
Kalau minta uang,katanya tidak punya uang.
Padahal ada juga yang disekolahkan di luar negeri, sementara adik saya tidak.

Tapi, kita ada harapan.
Saya harus maju.
Saya harus menyenangkan hati dan membahagiakan ibu saya yang sudah bekerja keras untuk saya.
Saya harus buktikan, insya Allah bisa maju.
Dan kalau kita maju, kita bisa berbuat banyak untuk orang-orang yang seperti kita.
Alhamdulillah, itu yang saya lakukan sekarang.

Nggak apa-apa sekarang nangis, tapi nanti bangkit.

Tambahan dari Bu Elly Risman:

Nah, itu kata kuncinya, Bangkit!
Bangkit, Nak!
Bukan untuk siapa-siapa.
Itu untuk dirimu.
Karena, Life is choice and the choice is yours.
Karena pilihan itu kamu juga yang akan menanggung akibatnya.

Bangkit dan milikilah harapan.
Cahaya keemasan di bawah awan yang gelap itu.
Karena kamu nanti akan menjadi teladan bagi keluargamu.
Milikilah masa depanmu karena hanya kamulah yang bisa meraihnya.

# 2
Saya ayah dari 3 orang anak, usia 48 tahun.
Saya salut pada Bu Dokter.
Tapi saya melihat bahwa perceraian tidak semua karena ayah.
Bagaimana saya bisa tetap mengasuh dan memberi bimbingan kepada anak-anak saya walaupun saya sudah bercerai dengan istri saya.
Mohon masukan.

Jawaban Bu Elly Risman:

Betul,Pak.
Saya setuju bahwa banyak juga istri-istri yang jadi ibu durhaka.
Nggak peduli anaknya, ditinggal begitu saja.

Seperti yang tadi dibahas, yang pertama kali bapak lakukan adalah membicarakan perasaan dulu.
Selalu yang kita bahas seperti pada Smart Parenting sebelumnya bahwa yang berkembang terlebih dahulu pada otak adalah pusat perasaan.
Kita suka bicara hanya dengan menggunakan pikiran saja, kita mengabaikan perasaan, akibatnya perasaan tidak terkelola dengan baik.

Yang kedua, jika bisa, carilah ibu pengganti karena bejana jiwa itu perlu diisi dengan itu.
Kalau anak-anak dan bapak bersepakat tidak mau mencari ibu pengganti, bisa digantikan dengan neneknya, adik perempuan bapak, bisa tetangga seijin suaminya.
Substitute mother itu diperlukan supaya kebutuhan jiwanya tetap terpenuhi.

#3
Saya baru menikah kira-kira 4 bulan.
Alhamdulillah, wali nikahnya adalah ayah saya.
Tetapi ayah saya bercerai ketika saya masih SD dan ketika saya menikah, ayah saya sama sekali tidak membiayai pernikahan saya.
Setiap kali saya datang ke rumah istri mudanya, istrinya itu selalu curiga kalau saya minta sesuatu kepada ayah saya.
Dan akhirnya sekarang, terbukti bahwa ayah justru kalau ada apa-apa mintanya ke saya.
Saya bingung nggak tahu mau ngapain.
Apa yang harus saya lakukan?

Jawaban Bu Elly Risman:

Nak, sepertinya dendam yang kamu miliki, belum terlepas semua.
Nanti Bu Dokter akan cerita bagaimana beliau merawat ayahnya di hari tua.

Jadi saya selalu bilang pada anak-anak yang bermasalah dengan ayahnya pada usia separuh baya dan masih jaya, dan anaknya masih remaja,
"Nak, kamu tahu nggak? Nanti di hari tua ayahmu, ayahmu itu nanti pulangnya ke kamu.
Karena terutama kamu anak perempuan. Nggak bisa pulang ke menantu perempuan.
Jadi apa yang harus dilakukan? Satu, Nak. Maafkan.
Sudah lewat, Sayang."

Itu juga dulu yang saya bilang pada Bu Dokter, Maafkan.

Kedua, minta ampunkan pada Allah.
Karena kita nggak tahu bagaimana dulu ayahmu diasuh oleh kakekmu.
Entah apa yang dulu beliau alami.
Tapi pada hakikatnya, Nak. Kita semua ini adalah orang baik.

Jadi, ini resep yang sangat penting.
Maafkan dan minta ampunkan (berulang-ulang) sampai kita merasa lapang.
Sampai kita Lega.
"Ya, sudahlah. Sudah lalu. Saya bawa-bawa juga terasa berat. Putuskan sajalah".

Yang ketiga, kalau ada waktu, bicara sama ayah.

Tambahan dari Bu Dokter:

Saya bicarakan semua pada ayah saya.
Saat saya berusia 49 tahun, ayah saya 79 tahun.
Alhamdulillah, waktu itu Bu Elly bilang bahwa jangan sampai nanti jenazah ayah terbaring di depan kita atau jenazah kita yang berbaring, urusan dunia kita belum selesai.

Saya memang berat sekali waktu itu.
Saya bicarakan semua.
Saya bilang,
"Papa, pernah nggak merasakan perasaan saya begitu melihat Mama melihat celana ayah di lemari?
Papa tahu nggak perasaan saya waktu Papa turun dari mobil.
Tahu nggak perasaan saya melihat Mama nangis setiap malam?
Tahu nggak Papa perasaan saya begitu mengangkat adik dari mabuk-mabuk di depan pintu, harus ngurus ke penjara waktu itu?
Pernah nggak Papa ada pikiran begitu?
Pernah nggak Papa?
Papa belum pernah minta maaf pada kami.
Sakit sekali hati kami berdua.
Sangat duka, Papa.
Duka!
Pernah nggak Papa pikirkan perasaan kami, anak-anak ini?
Juga anak-anak lain?"

Dulu saya tidak mau mengakui adik-adik saya (dari ibu tiri).
"Maaf, bukan saudara kandung!"

Bahkan saat saya menikah, saya tidak mau ada orang lain selain saudara kandung saya.

Jadi dengan ayah saya, saya selesaikan dulu sampai beliau minta maaf.
Jadi sudah selesai.

Jadi beliau minta diampunkan pada Allah.
Papa menangis dan saya juga ikut menangis dan minta maaf.
Dan ini terjadi juga dengan adik saya.
Dan sudah selesai.

Seperti yang Bu Elly bilang, saya lakukan.
Dan itu sangat berat memulainya.

Pada umur 17 tahun, saya tahu sebenarnya Papa sayang sama saya.
Itu saya dendam sekali, tapi saya sangat jaga karena saya tahu itu ayah saya.
"Sampai kapanpun darahnya tidak akan pergi dari darahmu", begitu yang dinasihatkan oleh ibu saya.
Ibu saya mendidik dengan sangat baik. Alhamdulillah.
Nggak boleh benci.
Tapi ya, namanya anak-anak.

______________________


Bagaimana supaya ayah tidak melakukan kesalahan?

Bu Elly:

Suatu hari saya melihat Aa Gym di Televisi mengatakan bahwa,
saya ini 8 tahun sibuk dengan popularitas.
Sibuk dengan pekerjaan.
Sibuk dengan prestasi.
Dan terabaikanlah banyak hal.
Sehingga banyak hal yang tak disadari.
Seperti contohnya kaca mata anak sudah minus 7.
Jadi, dari minus 1 ke minus 2 dan seterusnya, tidak tahu.

Dan ketika kemarin saya tanyakan kepada beliau, beliau hanya menjawabnya dengan air mata.

Beberapa tips dari Aa Gym:Pertama, anak itu baik. Ayahnya juga baik.
Tapi kadang-kadang ayah sangat sibuk.
Ayah menjadikan pekerjaan dan bisnis, ketenaran, penghargaan orang membuatnya jadi asyik dan tak sengaja menjadikannya prioritas.
Jadi tugas ayah sesempatnya di sisa-sisa waktu.

Jadi setelah tahu banyak persoalan anaknya minus 7 karena main games.
Aa Gym baru tahu bahwa kalau beliau datang, anaknya lari semuanya.

Ini semua diceritakan Aa Gym di sebuah stasiun televisi.

Kemudian saya menghubungi beliau.
Saya ingin mendengar beliau.
Dan saya seperti juga saat mendengar cerita dokter tadi, saya berurai air mata.
Beliau bilang,"Terima kasih sudah datang. Terima kasih sudah berkomunikasi.
Saya belajar banyak sekali.
Saya lalu bertanya pada guru saya.
Lalu saya bertaubat."

Jadi, turunkan frekuensi kesombongan jadi orangtua yang mentang-mentang T-U-A merasa jadi yang paling T-A-U.
Turunkan pelan-pelan.
Kemudian, semua prioritas-prioritas itu tinggalkan pelan-pelan.
Karena itu tidak akan kamu bawa kemana-mana.
Yang kamu bawa di hari tuamu itu adalah anak-anak yang peduli.
Ya kalau anak-anaknya nanti sadar seperti dokter tadi.
Bagaimana kalau yang anak-anaknya tetap sakit hati?
Bagaimana?

Jadi, setelah beliau (Aa Gym) menurunkan frekuensi ini, minta ampun sebanyak-banyaknya,
beliau menyamakan frekuensi, lembutlah selembut anak, baiklah sebaik anak.
Bicaralah dalam frekuensi mereka.
Kurangi memerintah dan menyuruh.

Seperti yang saya bilang, pakailah dua telinga lebih banyak daripada satu mulut.
Jadilah tauladan saja.

Ternyata, beliau (Aa) perdengarkan suara anaknya kepada saya ketika diajak ngomong.
Rendaaaah sekali.
Karena bapaknya sudah menurunkan suaranya seperti suara anaknya.
Saya pun belajar banyak dari Aa Gym dengan air mata.

Saya tahu sudah lama sekali bahwa komunikasi itu, kata-kata cuma 7%, intonasi turunkan 38%, 50% lainnya bahasa tubuh.
Dan itu yang ditiru.
Semoga kita bisa belajar.

Dan ternyata, 8 tahun beliau perlukan untuk merubah semuanya.
Dan sekarang beliau menikmatinya.
Saya bilang,"Pantesan Aa' muda terus. Kapan tuanya, sih?"

Semoga hari esok lebih baik.
Mari mulai turunkan frekuensi.

Harus sabar kuat dan tangguh.
Dan tetap berfikir positif.



Komentar

Postingan Populer