INFERIOR

Ini cerita nyata.
Seorang lelaki muda dengan pengetahuan yang dipelajarinya secara otodidak, dia berhasil membangun ‘karir freelance’-nya hingga memiliki klien internasional.
Ijazah formalnya ‘hanya’ SLTA.
Dengan semakin berkembangnya usahanya, dia mendirikan perusahaan yang berhasil merekrut ‘orang-orang hebat’ di bidang masing-masing.
Benar-benar ‘tim impian’.
Perusahaan yang didirikannya itu berhasil menjadi terbaik kedua di bidangnya di sebuah negeri hanya dalam hitungan waktu kurang lebih setahun.
Peringkat pertama dipegang keluarga konglomerat yang jelas kuat modal dan jaringan.
Benar-benar perusahaan yang punya prospek baik.
Semua baik-baik saja hingga rasa inferior menyerangnya.
Dia gelisah demi melihat anak buahnya yang hebat dibidangnya masing-masing.
Dia menjadi mudah marah, sewenang-wenang dan hal buruk kepemimpinan lainnya.
Semua tertekan.
Satu persatu anggota ‘tim impian’ itu pergi dengan kecewa.
Tim itu nyaris tak bersisa.
Perusahaan masih punya kredibilitas di mata klien.
Secara personal, lelaki muda itu kemudian punya banyak utang karena ini dan itu.
Secara finansial, perusahaan pun di ambang kehancuran.
Sungguh, menjadi pemimpin tak boleh inferior.
Rendah hati boleh, rendah diri jangan.
Karena dia pemimpin.
Bagaimana dia menegakkan ketangguhan sebuah perusahaan, jika dia tak mampu menegakkan kepalanya sendiri karena merasa inferior.
Menjadi pemimpin itu tak mudah.

Komentar

Postingan Populer