AKU MEMAHAMIMU

Kisah Pertama
Pada suatu tayangan sebuah acara yang ‘menghubungkan’ antara seseorang yang terobsesi pada kebersihan dengan seseorang yang rumahnya kotor dan penuh timbunan, awal mereka bertemu, mereka saling menilai aneh dan sedikit sinis satu sama lain.
Pihak yang terobsesi kebersihan dalam acara itu membantu membersihkan rumah yang kotor dan penuh timbunan itu.
Awalnya, meski mengobrol, obrolan terasa tak menyenangkan dan seakan masing-masing menahan kesal.
Dengan berjalannya waktu dan obrolan selama mereka ‘bersih-bersih’ rumah, pemilik rumah menceritakan alasannya mengapa dia menimbun begitu banyak barang yang sebagian besar adalah barang-barang milik anak perempuannya ketika bayi sampai usia dua tahun.
Saat acara itu berlangsung, Sang Anak berusia sekitar usia balita atau mungkin lebih sedikit.
Ibu pemilik rumah mengatakan bahwa masa anaknya bayi adalah masa yang paling indah dalam hidupnya.
Saat itu suaminya masih ada.
Dia menimbun karena tak ingin kehilangan kenangan indah.
Begitu berat baginya melepaskan barang-barang itu.
Dia mengalami ‘mental block’ terkait kenangan indah itu.
Ibu yang membantu membersihkan rumah, akhirnya ikut merasakan kesedihan dan menangis lalu kemudian mereka saling berpelukan.
Ibu yang terobsesi oleh kebersihan itu mulai memahami perasaan ibu pemilik rumah dan memaklumi mengapa Sang Pemilik Rumah sangat berat melepas barang-barang yang bertumpuk itu.
Proses bersih-bersih terus berlangsung di hari berikutnya.
Ibu pemilik rumah memutuskan untuk melepaskan barang-barang kenangannya untuk disumbangkan.
Dia ingin memulai awal yang baru.
Ibu yang membantunya bersih-bersih pun ikut senang mendengarnya.
Ibu yang terobsesi pada kebersihan dan ketakutan pada kotor ini, yang sesekali membersihkan tangannya menggunakan gel pembersih tangan, mengatakan bahwa sebenarnya apa yang dilakukannya ini adalah juga langkah besar baginya.
Biasanya dia menggunakan sarung tangan dan perlengkapan lain saat bersih-bersih.
Dia mencoba ‘berani’ pada debu dan kuman.
Saat membersihkan kamar anak pemilik rumah, Si ibu yang membantu membersihkan itu menceritakan kisahnya ketika melihat barang-barang anak pemilik rumah.
Si Ibu mengatakan bahwa ia tak punya banyak kenangan tentang anaknya.
Dia menceritakan bahwa ketika dia hamil, dia mengalami sedikit depresi sehingga ia tak mampu ‘membangun bonding’ dengan janinnya dan bahkan ketika bayinya sudah lahir.
Dia didiagnosa mengalami bipolar dan obsessive compulsive disorder.
Dan hingga kegiatan itu berlangsung, dengan menangis dia menyatakan bahwa hubungannya dengan putrinya kurang dekat karena dia lebih memprioritaskan untuk bersih-bersih.
Kegiatan bersama putrinya pun sebagian besar adalah bersih-bersih bersama.
Dia paham jika itu tak tepat, tapi meskipun bersih-bersih kadang tidak ingin dilakukannya, dorongan dalam dirinya mengharuskannya untuk bersih-bersih.
Beberapa kali dalam sehari.
Si Ibu pemilik rumah pun akhirnya mulai paham dan iba pada ibu yang membantunya bersih-bersih itu.
Dia merasakan bahwa sebenarnya, Si Ibu yang terobsesi pada kebersihan itu sangat ingin berubah demi anaknya.
Tapi itu tak mudah baginya.
Akhirnya, mereka saling memahami satu sama lain dan ingin saling membantu.
Pemilik rumah semakin ringan melepas kelekatannya pada barang-barang kenangan dan semakin rajin bersih-bersih, Ibu yang membantunya bersih-bersih pun mulai membangun keyakinan bahwa debu tak akan ‘menggigitnya’, menyakitinya ataupun membunuhnya. Dan dia tak merasa harus bersih-bersih rumah secara ‘ekstrim’ lagi seperti sebelumnya.
Dan setelah acara itu, dia makin dekat dengan anaknya.
***
Kisah Kedua
Pada serial acara bersih-bersih lain, menyajikan tayangan tentang melatih berbagi peran dan kekompakan keluarga sebagai tim dalam merawat rumah.
Di beberapa episode, penyebab masalah hampir sama, pendapat bahwa ibu adalah ‘tukang bersih-bersih’ rumah karena ibu kan ‘cuma di rumah’ dan mengurus rumah adalah urusan perempuan.
(Yang baca, jangan emosi ya.)
Dan ibupun kelelahan di antara pekerjaan yang tak pernah selesai dalam rumah besar yang sebenarnya punya banyak penghuni yang bisa menjadi tim bersih-bersih keluarga.
Sebagian anak-anak pun sudah besar-besar bahkan terhitung mulai menginjak usia dewasa.
Kegiatan dimulai dengan kunjungan dua pemandu.
Setelah pemandu bertanya tentang bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab pada kebersihan rumah, pemandu itu meminta mereka bertukar peran.
Jadilah, Si Ibu bersantai, sementara anggota keluarga lain mengerjakan pekerjaan yang biasanya dilakukan semuanya oleh ibu.
Pada episode lain, ada ayah yang membantu meskipun jarang dan tak banyak.
Pergantian peran ini membuat anggota keluarga lain menyadari betapa berat pekerjaan ibunya.
Betapa lelah Sang Ibu.
Begitu banyak pekerjaan, harus dilakukan sendirian.
Sebagian dari mereka menangis membayangkan berapa lelahnya ibu mereka.
Mereka pun meminta maaf pada ibunya.
Dan berjanji untuk ikut berperan dalam mengurus rumah.
Kemudian kegiatan dilanjutkan dengan ‘decluttering’ atau menyingkirkan barang-barang yang tak diperlukan atau jarang dipakai lagi bersama-sama.
Mengurangi kepemilikan barang di rumah adalah salah satu cara meringankan kegiatan bersih-bersih.
Untuk beberapa keluarga, pemandu bahkan membuatkan jadwal rotasi pembagian tugas untuk mereka.
Bertukar ‘peran’ menjadi ibu dan atau kadang ayahnya yang selama itu sendirian atau berdua saja membersihkan rumah, membuat anak-anak memahami betapa beratnya pekerjaan-pekerjaan itu.
***
Berbicara dan mengungkapkan apa yang terjadi atau apa yang dirasakan memang penting untuk bisa saling memahami satu sama lain.
Sehingga tak ada prasangka atau salah menilai atau bahkan kekesalan pada pihak lain yang dipendam diam-diam.
Tapi kadang saling berbicara saja tak cukup.
Butuh bertukar peran atau tugas untuk bisa benar-benar mengerti.
Benar-benar memahami.
_________________
Sheila Banun, menulis adalah menuangkan sesuatu yang dirasa sebagai ‘pelajaran’ yang kadang ditemukan di sana dan di sini.
Biidznillah.

Komentar

Postingan Populer