BELAJAR PEKA

Kisah Pertama
Lelaki itu masuk ke rumahnya. Tempat yang disebut rumah itu adalah sebuah ruangan yang disewanya bersama keluarganya. Tempat segala aktivitas sehari-hari, kecuali untuk MCK.
Lelaki itu pulang dari sebuah SMP Negeri tempat anak ketiganya akan disekolahkan. Hari itu, rencananya, lelaki itu akan membayar uang untuk daftar ulang anaknya. Uang yang dipinjam dari seseorang. Tetapi hari itu, lelaki itu urung membayar uang daftar ulang. Uang pinjaman itu diberikannya pada seorang ibu yang juga akan mendaftar ulang untuk anaknya. Ibu itu sedang bingung karena tak punya uang dan suaminya baru saja meninggal.
Awalnya, istri dan anak-anak lelaki itu tak paham. Bagaimana mungkin dalam kondisi kemiskinan keluarga, uang pinjaman itu diberikan pada orang lain begitu saja.
Lelaki itu mengajak keluarganya berpikir dan membayangkan situasi ibu tadi. Seorang ibu yang baru saja ditinggal suami dan tak tahu harus melakukan apa. Ibu itu sedang sedih dan kebingungan. Dalam kebingungan, demi anaknya, ibu bisa melakukan apa saja. Ia bisa saja mencuri, menjual diri, atau yang terberat, mengajak anak-anaknya bunuh diri.
Lelaki itu sedang mengajarkan kepekaan kepada istri dan anak-anaknya pada kondisi dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada situasi sulit yang dialami orang lain.
Lelaki itu mengajarkan bagaimana membantu orang lain menghindari situasi yang lebih buruk.
Belajar peka.

Kisah Kedua
Hari itu, ada kajian yang diisi oleh seorang Syeikh dari suatu negeri di sebuah masjid. Jalan masuk menuju masjid yang masih berupa tanah itu, akan sangat macet ketika ada kajian tertentu.
Hari itu, sebuah keluarga kecil yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, dan seorang anak lelaki kecil, berangkat menuju masjid itu dengan mengendarai sepeda motor mereka. Ketika sampai di sana, sudah banyak mobil dan sepeda motor yang terparkir. Kondisi sangat padat.
Seusai kajian selepas shalat wajib, si ibu berpikir,"Ah, di luar pasti masih macet. Masih bisa shalat sunnah dan menunggu sebentar agar lebih mudah keluar".
Tiba-tiba, telpon bergetar. Ada panggilan dari si ayah agar si ibu segera menuju tempat parkir.
Si Ayah berkata,"Kenapa lama? Karena kita datang belakangan, kita harus pulang duluan. Sepeda motor kita pasti akan menyulitkan orang lain untuk keluar. Bahkan ayah tadi tidak shalat sunnah, karena kuatir orang lain tidak bisa keluar".
Si ayah sedang mengajarkan pada istri dan anaknya tentang kepekaan pada kondisi yang mungkin menyulitkan orang lain disebabkan perbuatan sederhana.
Si ayah sedang mengajarkan tetang memahami sebuah situasi.
Belajar peka.

Kisah Ketiga
Setiap akan pergi ke tempat orang lain, baik ketika sedang ada sebuah acara atau tidak, seorang ibu berpesan pad anaknya,"Jika ada makanan yang kau sukai, tetap makan sepantasnya saja. Jika kau merasa kurang dan ingin lagi, nanti mintalah pada kami ketika sudah pulang. Semoga ayah bunda bisa membelikannya."
"Kenapa?", tanya si anak.
"Barangkali, ada orang lain yang tidak kebagian, karena kita mengambil lebih. Ambil sepantasnya, lalu pikirkan orang lain", jelas si ibu.
Si ibu sedang melatih anaknya untuk peka pada kemungkinan orang lain tidak mendapatkan sesuatu karena mengambil lebih.
Si ibu sedang mengajarkan peduli pada orang lain.
Belajar peka.

Kisah Keempat
Anak lelaki itu gelisah ketika bertamu ke rumah orang saat itu. Ada sebuah gelas berisi es teh diletakkan di sebuah tempat yang banyak colokan listrik di sebuah tikungan rumah yang sering dilewati. Itu sebuah kondisi yang berbahaya menurutnya.
Anak lelaki itu mengkhawatirkan pemilik rumah. Ia khawatir terjadi kebakaran yang membahayakan pemilik rumah. Ia ingin agar pemilik rumah memahami kekhawatirannya.
Anak lelaki itu sedang mengajak orangtuanya peka pada orang lain tanpa rasa 'tidak enak'.
Anak lelaki itu mengajak peka tanpa syarat.
Belajar peka tanpa syarat.

Semua kisah itu nyata, bukan fiksi belaka.
Kepekaan harus diajarkan, dibangun, dibiasakan, dan dijaga agar tetap ada.
Mari membangun kepekaan mulai dari keluarga kita.

Komentar

Postingan Populer