AKU DAN PIUTANG ITU

Suatu ketika di masa kanak-kanak saya, kami sekeluarga pulang dari luar kota.
Sesampai di rumah, beberapa barang kami hilang.
Dulu, ayah saya adalah orang yang sering membiarkan orang tinggal di rumah kami dan diperlakukan baik.
Nah, barang-barang kami hilang beserta seseorang yang yang tadinya tinggal di rumah kami.
Ayah saya membiarkannya.
Bukan sekali itu saja sebenarnya orang mengambil harta atau hak ayah saya dengan cara yang kurang baik.
Entah berupa pinjaman atau apa saja.
Bahkan seseorang pernah berkata tentang ayah saya,
“Ngapusi Mas Bakir iku gampang”.
Saya dengan logika anak-anak waktu itu tak paham mengapa ayah saya diam saja.
Apalagi kami di ambang jatuh miskin.
Berpuluh tahun kemudian, setelah berkeluarga, kami sempat mengalami piutang macet dengan jumlah yang sangat besar dan di saat kami benar-benar membutuhkan uang itu.
Saya berpikir keras.
Sungguh, disinilah keyakinan saya akan takdir Allah diuji.
Masih mampukah saya berkata,
”Qodarullahu wa maa sya’a fa’ala” dan tak berandai-andai saat piutang macet padahal kami sangat butuh uang itu?
Ternyata, mengalami ‘piutang macet’ bisa begitu ‘menguji’ aqidah.
Saya berusaha mempelajari tentang piutang macet menurut Islam.
Saya menyimak beberapa Ustadz.
Hingga akhirnya dengan ijin Allah, saya mengambil kesimpulan bahwa:
Jika piutang macet terbayar, Alhamdulillah masih bisa dimanfaatkan.
Tapi jika tidak, biarlah itu menjadi sedekah suami, tabungan akhirat untuk beliau atas kerja keras beliau menjemput rizki dan bisa dimanfaatkan orang lain.
Seandainya orang yang berutang itu memang ada rasa malas di hatinya untuk membayar, biarlah itu jadi urusan dia dengan Allah.
Kita sebagai muslim tak ada ruginya meski orang lain berbuat curang sekalipun.
Yang terpenting, luruskan niat karena Allah.
Wallahu a’lam.
_________________
Sheila Banun, ingin menulis apa yang dipikirkan.
Tak ada maksud apa-apa.

Komentar

Postingan Populer