Jangan Salahkan Debu yang Terbawa Angin


Wajah itu memandang cermin.
Ada noda di sana.
Lalu wajah bertanya,"Kenapa kau bernoda?"
"Aku bernoda karena angin menghempas debu padaku,"jawab cermin.

Sang wajah diam.
Pilihannya adalah membersihkan debu-debu.
Perlukah ia mengutuki debu yang terbawa angin?
Mengutuki debu takkan membuat cermin menjadi lebih baik.

Wajah itu aku, Anakku.
Cermin itu kau, Refleksiku.
Debu itu adalah hal-hal buruk yang kau dapat dari angin pergaulanmu.

Salahkah debu?
Salahkah angin?
Tidak!
Karena angin selalu bergerak.
Membawa bau harum atau busuk, titik air atau panas, dan bahkan debu.

Lingkungan tempat anak bersosialisasi selalu ada pada tempatnya masing-masing.
Tak mungkin selalu menafikannya karena alasan-alasan buruk.
Bukan selalu salah lingkungan sosialisasi jika anak mengikuti hal-hal buruk darinya.

Mengapa cermin tertutup debu?
Mengapa bukan harum yang menenangkan dan embun yang menyejukkan?
Karena cermin tak mampu melepaskannya.

Saat anakku meniru sesuatu yang buruk di luar rumah, tentu saja ada bagian salahku di situ.
Salah ibumu ini, Nak.
Sehingga kau memilih meniru hal-hal buruk itu, bukan mengingat pesan-pesan baikku.

Mungkin ibumu belum cukup membangun kepercayaan dirimu hingga kau ingin meniru.
Mungkin ibumu belum cukup membantu  menghalau rasa malu karena berbeda dengan yang lain meskipun itu baik.
Mungkin ibumu belum cukup membangun konsep diri yang baik padamu.
Mungkin ibumu belum cukup membantu menghadirkan Allah dalam dirimu.

Maafkan ibumu, Nak.
Saat verbal buruk yang masuk ke telingamu menjadi lisan di bibirmu.
Saat kesakitan yang kau terima di luar sana menjadi kekerasan pula pada lakumu.

Maafkan ibumu, Nak.
Belum cukup bekal yang kuberi untukmu.
Belum gigih benar ibumu mendidik diri sendiri dan dirimu.

Maafkan wajah ini, Cerminku.
Jangan salahkan debu yang terbawa angin padamu.
Mereka selalu ada di situ.

Komentar

Postingan Populer