PINK; Doktrin, Label, atau Strategi Pasar?

Di masa kecil saya, saat di desa maupun saat di perantauan (Balikpapan), anak perempuan tidak diidentikkan dengan warna pink.
Warna pakaian, sepatu, dan benda-benda lainnya yang dimiliki anak perempuan punya banyak ragam warna.
Warna kesukaan anak-anak perempuan di jaman saya kecil, sependek ingatan saya, tidak dominan pink.
Anak-anak tidak canggung memilih warna kesukaan.
Suka-suka.
Dan tidak selalu pink untuk perempuan.
Awalnya, warna itu netral. Tak bias gender.
Meski kemudian sejarah mencatat seorang ibu negara yang gemar warna pink hingga ke perabotan rumah.
Lalu di tahun 1980an, warna dengan bias gender memang sengaja dipopulerkan oleh perusahaan produk perlengkapan bayi.
Dan di kemudian hari gerakan berbau feminisme juga menggunakan warna pink sebagai simbol.
Kalau sekarang anak perempuan cenderung memilih warna pink, saya menilainya sebagai keberhasilan strategi marketing dalam 'mendoktrin' pola pikir konsumennya.
Lebih mudah menebak selera pasar jika seragam.
Resiko produk tidak laku juga cenderung lebih kecil.
Entahlah, apa itu benar atau salah.
Tidak perlu didebat ya.
Tidak penting.
Tapi ada satu (eh dua) pertanyaan saya, apakah memang manusia itu senang diseragamkan?
Dan apakah orangtua juga ikut menyeragamkan selera anak-anaknya dengan kecenderungan memilih warna dominan atas dasar gender?
Wallahu a'lam.
___________________
Sheila Banun, yang kadang khilaf menulis hal yang tak penting.


Komentar

Postingan Populer