DAN PUZZLE ITU KINI TEREKAT KUAT


Sekitar dua tahun lalu, seorang teman bercerita tentang pengalamannya mengunjungi sebuah perpustakaan milik suatu propinsi.
Saat itu, perpustakaan itu terhitung baru dengan berbagai buku dan mainan edukatif bagus termasuk buku-buku dan mainan impor berkualitas.
Teman saya itu lalu bercerita tentang obrolannya dengan pegawai perpustakaan tersebut.
Pegawai itu bercerita.
Ketika perpustakaan itu diresmikan, pejabat propinsi mengundang kalangan tertentu.
Mereka adalah keluarga yang peduli pada pendidikan dan fasilitas publik.
Awalnya keluarga-keluarga itu menikmati berkunjung ke perpustakaan dengan fasilitasnya yang bagus itu.
Mainan-mainan edukatif yang bagus-bagus itu ditata sesuai kelompoknya.
Sungguh rapi dan teratur.
Sampai di kemudian hari mereka berhenti berkunjung.
Mengapa?
Perpustakaan yang memiliki fasilitas bagus itu, tentulah menarik bagi banyak kalangan.
Mainan dan buku bagus yang terhitung mahal, bebas digunakan.
Tapi sayangnya, tak semua mampu merawatnya.
Mainan-mainan yang sebelumnya tersimpan rapi sesuai kelompoknya, kemudian hari sudah bercampur aduk tak tentu kelompoknya.
Petugas perpustakaan berulang kali berusaha untuk menata kembali sesuai kelompoknya.
Tentu saja usaha itu tak selalu berhasil.
Tetap saja ada mainan yang tercampur lagi atau hilang terselip entah kemana.
Sejak itulah keluarga-keluarga disiplin yang tadinya rutin datang, mulai menarik diri.
Mereka hanya datang untuk meminjam dan mengembalikan buku saja.
Mereka kuatir anak-anak mereka terbiasa pada situasi dimana bermain menggunakan fasilitas umum itu tak perlu dirapikan kembali dan boleh bermain seenaknya.
Selepas mendengar cerita pegawai perpustakaan tersebut, teman saya melemparkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
Benar saja apa yang diceritakan oleh pegawai itu.
Anak-anak memainkan mainan seenaknya.
Mainan dihamburkan ke sana ke mari, campur aduk tak karuan di lantai.
Sementara orangtua mereka sibuk dengan gadget masing-masing dan tak ada yang mengarahkan anaknya bermain.
Lalu teman saya memperhatikan anaknya bermain menyusun sesuatu.
Anaknya itu bingung mencari kekurangan potongan bagian mainan itu yang akhirnya mencoba menggunakan potongan yang ada meski tak cocok dengan agak memaksa.
Dan ini menurut teman saya dalam jangka panjang kurang baik juga bagi anaknya.
Teman saya pun paham mengapa ada keluarga yang tak kembali lagi ke perpustakaan itu.
Qodarullah, hari ini saya ingat cerita teman itu karena mendapati puzzle yang direkat kuat dengan lem di perpustakaan kota.
Tak bisa lagi dimainkan.
Mungkin petugas perpustakaan sudah menyerah, tak mampu lagi mengajak orangtua bersama-sama menjaga fasilitas perpustakaan.
Beginilah akhirnya yang bisa mereka lakukan.
Saya sangat maklum.
________________
Sheila Banun, menulis untuk mengajak orangtua memperbaiki diri bersama-sama, bukan menghakimi.

Komentar

Postingan Populer