Chef di Hati Anak


Ceritanya, beberapa hari lalu, ikut belajar bikin Pizza di rumah Likah.
Sebenarnya, tepatnya, nonton orang bikin Pizza dan ikut mencicipi.
Hihihi...
Kali ini dalih saya adalah karena disambil momong A.
#dalihselaluyesss
Penonton itu kadang menganggap pertandingan itu mudah.
Jadilah kesimpulan saya dari hasil belajar eh menonton bikin pizza adalah bahwa sebenarnya memasak itu mudah, yang penting kemauan dan jam terbang.
Kesimpulan khas penonton dan komentator.
Ideal dan indah.
Hehehe....
Pagi ini, saya mencoba membuat pizza ala ala sendiri.
Tanpa mozarella karena nggak punya.
Cuma pakai topping saus spaghetti instan, bawang bombay dan sosis.
Tentang sosis, saya termasuk yang tak suka punya persediaan makanan instan beku. Tapi karena ingin belajar, jadi beli sosis deh.
Seingat saya dulu pernah dua kali saja beli sosis beku non msg.
Seumur hidup.
Hihihi...
Kembali tentang membuat pizza.
Saya belum pernah bikin adonan rerotian.
Nah, karena itulah saya belum tahu secara praktek kalis itu bagaimana.
Saya kira-kira aja.
Jangan ketawa ya, ini nyata.
Proses selesai, lalu dimasak di double pan.
Eh, saya tinggal nunggu penjual sayur.
Pas matang, jadi kriuk (baca: agak keras) karena kelamaan.
Ya, jelaslah wong ditinggal beli sayur.
Pizza ala ala yang menurut saya tak berhasil itu, jadi menu sarapan anak-anak.
"Gimana, Nak? Aneh rasanya?" tanya saya pada Z.
"Nggak kok. Enak aja. Enak banget malah", jawab Z.
Alhamdulillah.
Meskipun saya bilang ini pizza gagal.
Meskipun seandainya seluruh dunia bilang ini pizza aneh.
Yang penting, emak tetap chef di hati anak.
Cukuplah itu buat emak yang tak pandai masak.
____________
Sheila Banun, semoga tetap semangat belajar.

Komentar

Postingan Populer