PENTINGNYA PERAN AYAH DALAM PENGASUHAN

Oleh Ibu Elly Risman. Saya rangkum dari program Smart Parenting di Smart FM, 3 Desember 2014.


Sesungguhnya banyak orangtua yang terperangkap bukan saja dalam bilangan bulan, tapi juga dalam bilangan tahun dalam keadaan tidak satu pandangan, tidak sama sikapnya dan berperilaku antar ayah ibu berbeda dan tidak tahu bagaimana caranya harus keluar dari masalah ini.

Sementara, karena perbedaan-perbedaan antar orangtua itu juga kadang-kadang terjadi di depan anak, maka berbagai masalah timbul.
Sementara ada orangtua yang benar-benar sudah tidak mengerti caranya, membiarkan ketidaksepahaman ini berlalu dan berlarut menjadi persoalan begitu saja.
Ada juga yang berpura-pura seolah tidak terjadi persoalan apa-apa dan situasi aman terkendali padahal seperti api dalam sekam, menyebar kemana-mana. Diam tapi pasti.

Sebuah kasus.

Ada di sebuah sekolah, guru menemukan bahwa anak perempuan suka sesama jenis. Anak SMP kelas 1.
Dari ponselnya ditemukan bahwa sudah serius. Maka dipisahkanlah kelas mereka.
Lalu mereka berkata pada ibu guru yang mengatur pemisahan ini,"Ibu mau pisahkan ke ujung dunia, nggak bisa, Bu. Kita akan cari cara."

Setelah berbagai cara dilakukan, akhirnya dipanggillah orangtua mereka.
Satu pasang orang tua masih bisa diajak kerjasama.

Sementara pasangan orangtua lain, sang bapak berkata,"Untuk apa Bu, Ibu panggil saya?"
Lalu dijelaskanlah persoalannya.
"Barangkali Bapak bisa mengevaluasi, ini keliru apa? Sekolah tidak bisa melakukan apa-apa karena anak kami terima sudah jadi begini," kata Bu Guru.
Ada Bapak Guru juga diantara mereka.

Lalu sang bapak memberi jawaban yang mengiris perasaan,
"Gini ya, Bu. Kalau Ibu dan Bapak mengharapkan kami membicarakan ini, itu mustahil. Saya sama istri saya sudah lama tidak bicara. Menghindari ribut, Pak. Jadi, kalau ini dibicarakan lagi, saya nggak bisa membayangkan lagi ributnya bagaimana. Jadi sudahlah ya, Bapak Guru dan Ibu Guru, sudah nasibnya anak saya suka sama sejenis."

Sering terjadi, tidak ada pembicaraan antara kedua orangtua.
Akhir pekan pun setelah lelah seminggu itu, yang kadang selama seminggu itu keadaan juga tidak baik, maka di akhir pekan juga jadi tidak bermakna buat anak-anak.
Anak-anak itu panjang sekali 'antena'nya, peka terhadap bahasa tubuh ibu bapaknya.

Saya paham, hidup di kota besar tergesa-gesa.
Persoalan ini berawal dari tahun-tahun pertama pernikahan yang tidak terjembatani.
Sementara anak-anak kadang-kadang lahir hanya sebagai konsekuensi saja.

Ibu tidak mengerti bahwa otak ayah berbeda, ayah tidak mengerti bahwa otak ibu berbeda.
Dulunya tidak sempat dipelajari bagaimana latar belakang masing-masing karena sangat tergantung juga dengan bagaimana mereka memulai kehidupan perkawinan.

Hari berjalan, bulan berganti, tahun berganti, persoalan ini tidak terselesaikan.
Anak-anak sering tidak 'mendapatkan' ayahnya.
Dan anak-anak juga tidak 'mendapatkan' ibunya.

Kita bahas satu-satu, tapi kali ini kita membahas ayah dulu karena tampak sekali kurangnya peran ayah dalam pengasuhan sehingga saya berkali-kali sejak 6 tahun yang lalu, mengatakan bahwa INDONESIA ini is a FATHERLESS COUNTRY.
NEGARA TANPA AYAH!

Ayah ada secara fisik,
ayah tidak menyapa anaknya secara emosi.
Dan ayah tidak menyapa anaknya secara spiritual.

Kalau ayah ngomong sama anaknya umumnya,

"Sudah makan, Nak?"
"PRmu sudah?"
"Ehm... Hafalan?"
"Kamu, tugasmu belajar. Ayah mencari uang. Ya sudah sana! Selesaikan tugasmu! Ada apa-apa, bilang sama Mama."

Itu kalau kita perhatikan, kata-kata itu keluar tidak sampai satu menit dan belum tentu minggu depan sempat terulang kembali.

Jadi, apalagi mendengarkan keluhan anak.
Apalagi mendengarkan emosinya.
Apalagi membicarakan tentang perkembangan spiritualitasnya.

Pas anak ada kesempatan bicara, yang dibahas kesalahannya.

Dari riset kecil yang kami lakukan, sebetulnya ada beberapa hal mengapa ayah kadang-kadang sukar terlibat.
Kalau saya salah, tolong saya dikoreksi.

1. Masalah penciptaan.

Pada saat kita kawin, ayah kita tidak menyampaikan dan ibu kita juga tidak bercerita bahwa sebetulnya Allah menciptakan otak laki-laki dan perempuan itu berbeda.
Ini susah disuruh setara.
Otak laki-laki itu kuatnya sebelah kiri, perempuan kuatnya sebelah kanan.

Karena bapak otak kirinya lebih kuat, jadi lebih mudah fokus dalam berbagai hal termasuk dalam hubungan suami istri.
Fokusnya duluan.
Sementara istri masih mikir,"Aduh, panci hangus. Obat mertua belum dikirim. Anak besok minta celana panjang putih."

2. Pilihan kalimat

Bapak kalau mau ngomong, beliau pikir dulu dengan otak kiri tentang apa yang mau disampaikan.
Sementara ibu, mikir tujuan apa yang mau disampaikan sambil ngomong.
Jadi panjang.
Bapak bicaranya pendek-pendek, terbatas, tapi langsung.

Anak yang biasa diasuh oleh ibunya, itu sangat sangat membutuhkan ayahnya dengan kalimat-kalimatnya yang pendek itu.
Lebih jelas, jadi lebih mudah untuk mereka lakukan.
Oleh karena itu makanya kalau ayahnya ngomong, anak mendengarkan.
Karena ayah ngomongnya pendek-pendek.
Ibu ngomongnya panjang.

3. Figur Teladan (Role Model)

Ayah, sudah otaknya otak kiri, bicaranya terbatas, kemungkinan dulu beliau tidak punya role model.
Kemungkinan kakeknya anak ini juga adalah orang yang 'dingin'. Yang jarang bicara.
Bicara seperlunya dan tidak menunjukkan emosi juga.
Jadi, modal darimana untuk bisa hangat dengan anaknya?

4. Ibu terlalu dominan

Ibu-ibu suka mengeluh bahwa,
"Suami saya pendiam."
"Suami saya nggak bisa bicara."

"Suami saya jarang banget ngomong, Bu. jadi saya yang ngatasin daripada nggak bisa."

ITU YANG SALAH BESAR!

Sering kali ibu-ibu merasa nunggu ayahnya lama, ngomongnya lama, ngomongnya pendek-pendek, terus waktunya nanti nggak ada, ibu terus ngambil semua.
Dalam satu kata, Ibu terlalu dominan.
Kadang-kadang suka mengkaitkan dengan harga dirinya, keberadaannya dengan sukses atau tidaknya anaknya.
Yang lain laah...

Jadi, karena ibu kelihatannya sudah sangat menguasai,
ibu kelihatannya sangat dekat dengan anak,
ibu kelihatannya sangat bisa,
dia belajar parenting ke sana kemari,
terus si Bapak bilang,"Ya udah, Loe aja."

Ibu turunin sedikit!
Jangan terlalu dominan!

Sebetulnya ayah itu mau, tapi nggak ada kesempatannya.
Dan tidak dibuka.
Dan tidak ditunjukkan dan dikirimkan aura kepercayaan pada ibunya dan ibunya tidak menciptakan suasana dimana ayahnya bisa bicara.
Ya ayahnya,"Ya udahlah!"

Tanya deh ayah-ayah!
Bener nggak risetnya?

5. Ayah kurang mempunyai pengetahuan agama tentang tentang tugas dan tanggungjawabnya.

Ini yang paling mendasar di atas segala-galanya.

Ayah kurang mempunyai pengetahuan agama tentang tugas dan tanggung jawab dalam pengasuhan anak, bahwa secapek-capek apapun ayah, setidakbisanya dia ngomong, dia HARUS. KARENA ALLAH.

Kan ayah dan ibunya yang dipilih jadi baby sitternya Allah.
Kenapa dicariin , disubkontrakkan kepada orang lain dan berharap orang lain yang berbicara?

Dan saya pikir, tidak mungkin ayah itu tidak bisa.
Karena ayah pernah sekolah, pernah presentasi di sekolahnya, berdiri di depan kelas menjelaskan sesuatu.
Di dalam grupnya, di perusahaanya, ayah bisa bicara.
Kenapa ayah tidak bisa bicara ya sama anak ayah?

Kalau dari kecil nggak diajak bicara, nggak ada yang ngajak, nggak ada hubungannya.
Jangan lupa ya, banyak persoalan yang akan timbul.
Dan hari tua ayah akan sangat sepi.
Kalau ditunda-tunda sekarang, nanti saat hari tua ayah, akan tertunda-tunda juga anak untuk datang menemani ayah.
Karena waktu kecil anak nggak ada 'wiring' di kepalanya tentang hubungan anda dengan anak anda.


Padahal sebetulnya ayah banyak fungsinya dan tak tergantikan.

Ayah sebetulnya adalah pelatih emosi.
Emosi yang meletup-letup, ayah bisa mengendalikannya.
Ayah adalah contoh.
Ayah adalah bintang dalam pengasuhan.

Menghadirkan ayah dalam pengasuhan akan menghasilkan anak yang
  • memiliki kecerdasan emosional lebih bagus,
  • potensinya bisa lebih optimal,
  • lebih berani di luar hubungan ibu anak,
  • bertanggung jawab,
  • punya perspektif berbeda dalam memandang masalah,
  • anak-anak tumbuh menjadi lebih simpatik,
  • kalau ayahnya hangat, anak empatinya juga hangat,
  • hubungan sosialnya lebih baik,
  • percaya diri jadi tinggi.
  • akademis dan finansial jadi sukses.
Bayangkan!

Hadirlah ayah dalam pengasuhan anaknya!

Itu baru sebagian saja, kalau diuraikan lagi hasil penelitiannya, banyak sekali hal-hal yang positif.
Tak tergantikan.

Bagaimana dengan para ibu yang single parent?
Mengasuh anak-anak mereka sendirian.

Umpamakan jiwa kita bak bejana berhubungan yang kedua-duanya perlu diisi.
Itu fitrah.
Kita ini perlu ayah, perlu ibu.

Kalau berpisah dengan ibu tapi bapak masih hidup, kan bapak berpisah dengan ibunya, bukan dengan anaknya.
Kapan-kapan kita akan bicara soal topik perceraian saja.

Tidak semua hal bisa berjalan seperti yang kita kehendaki.
Hidup ini kadang-kadang begitulah.
Tidak selalu dapat apa yang kita kehendaki atau kita tidak dapat apa yang kita mau.

Jadi ada 'ayah pengganti'.

Ayah pengganti itu tetap harus dicarikan.

Rasulullah itu 'nggak punya ayah', tapi ada kakeknya terus ada pamannya.
Waktu beliau disusukan ke orang lain, Halimatussa'diyah itu punya suami yang sangat perhatian.

Jadi sekarang siapa?
Ada kakeknya nggak?
Ada pamannya nggak?
Ya harus pakai hatilah.

Orang di sekitarnya dia itu harus bertanggungjawab, ada keluarga kita yang tidak punya ayah.

Kalau dalam Islam menyantuni anak yatim itu perintahnya besar sekali dan kuat sekali.

Kalau misalnya jauh dari saudara, minta tolonglah pada guru.
Tapi harus bicara pada istri guru tersebut, supaya tidak salah tangkap.
Bisa juga imam masjid, pendeta.
Minta tolonglah pada keluarganya.
Sekali atau dua kali seminggu bersama anaknya.
Karena memang, itu dibutuhkan.

Bantulah menyampaikan dan menyadarkan ayah-ayah,

"Anda dahsyat sekali perannya Ayah/Bapak, peranannya dalam pendidikan anak-anak kita."

Tapi sampaikan dengan cara yang pas untuk otak kirinya. Seperti juga anak laki-laki kita.

Untuk anak perempuan,ia perlu mengenal cara bekerja otak laki-laki untuk masa depannya.
Bagaimana dia 'deal' dengan pasangannya ke depan.
Dan bosnya.
Dan teman laki-lakinya.

Jika dia tidak punya kesempatan untuk bergaul dengan bapak, darimana modalnya, Pak?

Bapak lepaskan dia ke dunia dewasanya.
Bapak ikatkan dia ke tiang rumah orang lain.
Anak perempuan kan akan tinggal dalam keluarga suaminya.

Jadi apa yang diharapkan dari seorang ayah? Dari riset kami, Bapak menentukan garis-garis besar haluan pengasuhan anak.

Mau kemana anak-anak kita,  Pak?

Yang laki-laki bagaimana, yang perempuan bagaimana.
Dan bagaimana bapak mengontrolnya.
Ibu yang melaksanakannya.

Jadi memang harus seimbang dibutuhkan.
Apalagi di era digital ini, dibutuhkan dua-duanya.

Kita semua,
Mari kita siapkan anak-anak kita.

Anak laki-laki kita jadi ayah.
Bagaimana menikah, harus kita persiapkan juga.

Ketika istrinya hamil, terlibat dalam perawatan bayi.
Anak laki-laki harus kita ajarkan begitu.
Dalam pemberian ASI.
Seperti sekarang ada Ayah ASI.
Bagaimana mendampingi istrinya.
Mewaspadai Baby Blues.

Itu merupakan kurikulum yang harus dipikirkan oleh ibu-ibu dan ayah-ayah dalam menghantarkan anak laki-lakinya.

Menanamkan nilai-nilai agama anak laki-laki maupun perempuan dan mencontohkannya.
Karena kita sekarang kehilangan Role Model.

Mari bermain bersama, dengan catatan nggak bawa pikiran kantor.
Belajar berkomunikasi dengan baik, yaitu belajar mendengarkan perasaan.

Jangan mengiyakan cepat sekali supaya komunikasi cepat selesai, seperti,"O yaa.. yaa... Ayah sudah ngerti. Ayah sudah ngerti."

Anak-anak perlu bapak, Pak.
Berikan dia 'Basic Trust'.

Contoh.

Suatu kali anak sulung kami 15 tahun harus ikut sebuah program 3 mingguan yang diasramakan bersama walaupun jaraknya jauh antara anak laki-laki dan anak perempuan. Tapi, ini di Amerika. Dan ternyata anak laki-laki dan perempuan itu bisa lompat pagar dan segala macam.
Tapi kita harus pernah memberikan kepercayaan satu kali kepada anak.

Ayah lalu berkata sambil berlinang air mata kepada anak perempuan paling besarnya,"Ayah tahu konsekuensinya ABCDE, tapi I TRUST YOU. Saya percaya kamu, Nak. Kamu jaga kepercayaan ayah, buah hati ayah, Nak.

Itu pertamakalinya saya melihat Pak Risman menangis. Padahal jaraknya hanya 20 menit dari rumah. Tapi satu kali dalam hidup anaknya, seorang ayah harus mengatakan,"Ayah percaya kamu, buah hati ayah. Ayah sayang sekali sama kamu, Nak. Ayah tidak akan biarkan siapapun menyentuhmu. Ayah akan kejar, Nak. Engkau sangat berharga bagi hidupku."

Baik anak laki-laki maupun perempuan, perlu suatu kali ayahnya bicara tentang 'Basic Trust'.
Jangan-jangan anak kita tumbuh besar, ayahnya tidak pernah mengatakan,"I trust you, Buah hati Ayah."

Ikut dalam kehidupan sosial anak.
Khususnya anak laki-laki.
Bicaralah tentang semua isu perkembangan mereka.
Bagaimana dia di sekolah, bagaimana dia bergaul dengan temannya, godaan temannya.
Ayah perlu bicara terbuka tentang itu, Ayah.
Dan bagaimana membuat anak kita menjadi 'Lelaki'. Jangan setengah-setengah.
Godaannya sekarang luar biasa.
Dari TK dan sampai dia mau jadi apa.
Bagaimana mencapainya itu.

Jadilah ayah-ayah yang hangat yang terlibat dalam kehidupan sehari-harinya dibutuhkan di era digital seperti ini.
Kita mengasuh generasi platinum, Ayah.
Ayah perlu memperlakukan anak-anak sesuai dengan usianya.

Buat ibu,
Jangan merasa tidak berharga kalau anaknya nggak 'sukses', Bu.
Lain tempat, Bu!
Anda menjadi anda dengan harga diri anda sendiri.

__________________________

Sesi tanya jawab
____________

Bagaimana jika ayah marah pada anak, ibu sakit hati?

Peran ayah ibu saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
Bahwa satu lebih dominan dari yang lainnya, iya lah.
Yang penting masing-masing mengerti perannya.

Kalau saya, memberikan hak sepenuhnya pada ayahnya dengan kesepakatan di depan.

Saat ayah memarahi anaknya dengan keras, lihat bagaimana anaknya.
Barangkali memang anak sudah berulangkali ditegur tapi tidak mau mendengarkan juga.
Jadi saat ayah membentak, ibu tak perlu sakit hati.

Tidak bisa anak kita kita lindungi jadi steril semua.
Di luar sana ada bullying.
Jadi anak harus punya ketangguhan.
Walaupun itu tidak berarti ia terus menerus dibentak-bentak.
Sesekali saja haruslah..
Dia juga harus tahu bahwa sesekali orang bisa 'lost of temper', tidak selamanya bisa mengontrol diri.
Jadi kalau ia melakukan hal itu pada orang lain, belum tentu dunia jadi aman-aman saja.

______________

Anak saya sering menangis jika ditunjukkan kesalahannya.
Misalnya, shalat kurang satu rakaat atau aktivitas lain yang non agama.
Kenapa anak saya kok gampang nyerah ya, Bu?

Sebagai ayah saya khawatir dengan kondisi ini.
Bagaimana caranya mendidik anak agar gigih dan pantang menyerah?

Kalau itu anak perempuan, menangis masih bisa ditolerir.
Tapi kalau anak ini anak laki-laki, waaah...

Yang terpenting, perlu mendengarkan perasaan.
Jadi waktu anak itu menangis, selesaikan dulu urusannya.
Baca bahasa tubuh dan namai perasaannya.

"Kok kamu ayah tegur sedih? Ayah salah ngomong ya, Nak? Dimana yang salah?"

Tunggu dia jawab.

"Apa kamu nggak suka ayah negur? Kamu sukanya Ayah negur seperti apa?"

Dan mengenai kegigihan itu bukan karena masalah menegur.
Kegigihan itu, kita menemani anak untuk menghadapi tantangan, mempersiapkannya menghadapi tantangan.
Dan membiarkannya mencoba.
Dan menjadi dinding dimana anak itu perlu bersandar atau ketika dia rebah.
Itu.
Terus coba, coba, coba.
Dan kita coba mengajarkan pada anak kita apa lagi, apa lagi, apa lagi.
Dan ayah juga jangan pantang menyerah.

Ayah juga bilang,"Ayah yakin, insya Allah kamu bisa! Bagian mana yang ayah perlu tolong?"

Jangan orangtua menuntut yang tinggi, tapi kasih sayangnya nggak tinggi.
Harus seimbang.

_________________

Kami punya dua anak Balita. Keduanya sangat dekat dengan kami.
Ketika neneknya meninggal, anak kami tidak mau dititipkan siapa-siapa sampai kami kesulitan pergi kerja.
Bagaimana pemecahannya?

Salah satu harus berhenti kerja.
Rezeki dari Allah dan tidak semuanya berupa uang.
Bayangkan, kedua anak ini baru kehilangan neneknya lalu diserahkan pula pada orang lain.
Dampaknya lama.
Nanti yang merasakannya bapak juga.

__________________

Kedua orangtua bekerja, anak diasuh nenek.
Apakah buruk pola asuh seperti ini?
Kita kan baby sitternya yang ditunjuk Allah kan ya?
Jadi, kita yang harus bertanggungjawab.
Nenek sudah capek mendidik dan membesarkan anak.
Sekarang dikasih pula cucu.
Harus diingat bahwa badan sudah ringkih, osteoporosis.
Emosi juga ringkih.
Fisik menurun, hormon menurun.
Terjadi perubahan emosi yang luar biasa.
Estrogen dan progesteron menurun.
Tersinggung sedikit sedihnya lama atau marahnya besar.
Tidak terbiasa dengan gadget.
Dulu waktu membesarkan anak, uangnya sedikit.
Sekarang anak sudah kerja dan sudah banyak uang, dikasihlah apa yang cucu mau. Biar cepat selesai urusannya.

Nenek kakek tidak didesain untuk mengasuh cucu.

__________________________

Anak tunggal laki-laki 18 tahun, prestasi bagus
Tapi suka sesama jenis.
Bagaimana peran ayah untuk mengatasi hal ini?

Bapak harus introspeksi diri dulu.
Pada bagian penggal hidup anak yang mana ya yang bapak tidak hadir?
0 sampai 5 tahun?
5 sampai 10 tahun?
10 sampai 15 tahun?

Karena bapak sekarang ini sedang panen ketiga, Pak.
Panen pertama saat anak umur 7 tahun.
Panen kedua 14.
Sekarang mau panen ketiga.

Jadi, yang pertama harus bapak lakukan adalah minta maaf.

Kedua, bilang sama anak tentang resikonya.
Dari segi agama, agama mana saja melarang.

Kemudian tanyakan pada anak,"Kamu perlu pertolongan atau tidak?"
Bapak harus tolong anak Bapak untuk kembali ke jalan yang benar.

______________________________


Anak-anak kita, terutama anak-anak lelaki kita, kini menghadapi tantangan yang luar biasa untuk tumbuh lurus (growing straight).
Dari makanan, tontonan, dan pergaulan.
Jangan sampai mereka terlepas dari genggaman jiwa kita dan terhanyut deras oleh perubahan dan tantangan jaman semata-mata karena ayahnya tak dekat dengan jiwanya.


Komentar

Postingan Populer