ISTRI SEPERTI BUNDA

“Kalau Mas Z, pengennya istri seperti bunda”,
kata Z saat kami bertiga dengan ayahnya berbincang tentang bagaimana memilih pasangan dan memantaskan diri dengan pasangan yang diharapkan kelak.
Jawaban Z seolah meletakkan sesuatu di dada saya.
Berat.
Sesak.
Z ingin istri seperti saya yang menurutnya baik.
Saya tersanjung?
Mungkin sedikit.
Tapi rasa yang dominan di dada saya adalah sesak oleh rasa bersalah, malu, dan entahlah.
Campur aduk.
Di mata Z, ibunya baik.
Andai saya sedang makan, bisa saja saya tersedak mendengar perkataannya.
Saya tahu bagaimana saya.
Saya tak sebaik sangkaannya.
Dia tidak tahu bahwa banyak hal yang kurang baik pada ibunya.
Mungkin, hanya saya dan Allah yang tahu bagaimana saya sebenar-benarnya.
Dan saya kuatir dengan harapannya mendapatkan istri seperti ibunya.
Saya merendah?
Tidak.
Saya memang kuatir.
Saya jauh dari layak menjadi standar.
Meski tentu saja tak ada istri dan ibu yang sempurna.
Manusia tak sempurna.
Qodarullah, saya jadi teringat sebuah nasihat,
“Ibu, jadilah ibu yang kau ingin cucumu memiliki ibu sepertinya.
Ayah, jadilah ayah yang kau ingin cucumu memiliki ayah sepertinya.”
Dan saya, masih jauh dari itu.
Saya sepertinya masih harus berlari kencang mengejar ketertinggalan.
Saya merasa bahwa Allah seperti menegur saya melalui anak.
Jawabanmu membuatku merasa bersalah, Nak.
Semoga Allah memudahkan ibumu memperbaiki diri.
Agar harapanmu menjadi do’a yang indah.
______________
Sheila Banun, merenung saat memasak dan menuliskannya di sini kemudian sebagai pengingat.

Komentar

Postingan Populer